Tugas
: Niti Sastra
Makalah Tentang Bagaimana
Perempuan
Menjadi Seorang Ibu Dalam ajaran Niti Sastra
DI SUSUN OLEH:
Nama: Ni Made Dewi
Swadesi
Kelas/Semester: V A
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
STHAN GEDE PUDJA MATARAM
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Wanita dalam bahasa Sansekerta disebut Vanita berasal dari
urat kata kerja "Van" artinya yang dicintai, istri, perempuan. Kata
tersebut kemudian mendapatkan akhiran Hita (ita) yang berarti baik, mulia,
sejahtera. berpangkal dari arti tersebut maka pengertian Wanita adalah orang
yang memiliki sifat mulia, yang dicintai karena cinta kasihnya dan membuat
orang sejahtera.
istilah lain untuk wanita, juga oleh Prof, M. Yamin disebutkan dengan kata " Perempuan" yang berasal dari kata " Empu", mendapatkan awalan Pe dan akhiran an. di dalam ajaran agama Hindu, Kata Empu adalah istilah untuk gelar yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati, dimuliakan dan juga orang-orang suci Hindu. Bila kata empu ini dihubungkan dengan wanita dalam tugasnya maka dapat diartikan "pengasuh. memang telah menjadi kenyataan di masyarakat bahwa kaum wanita mempuntai tugas mengasuh anak-anaknya, keluarga termasuk suaminya.
istilah lain untuk wanita, juga oleh Prof, M. Yamin disebutkan dengan kata " Perempuan" yang berasal dari kata " Empu", mendapatkan awalan Pe dan akhiran an. di dalam ajaran agama Hindu, Kata Empu adalah istilah untuk gelar yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati, dimuliakan dan juga orang-orang suci Hindu. Bila kata empu ini dihubungkan dengan wanita dalam tugasnya maka dapat diartikan "pengasuh. memang telah menjadi kenyataan di masyarakat bahwa kaum wanita mempuntai tugas mengasuh anak-anaknya, keluarga termasuk suaminya.
1.2.Tujuan
Untuk mengetahui peran perempuansebagai sorang ibu dalam
mengurus rumah tangga
1.3.Rumusan masalah
1.
Apakah
yang di maksud dengan perempuan atau wanita?
2.
Bagaimanakah
peran perempuan sebagai sosok seorang ibu?
3.
Bagaimanakah
istilah perempuan dalam sastra jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Perempuan
Menurut Prof, M. Yamin menjelaskan
kata " Perempuan" itu berasal
dari kata " Empu", mendapatkan awalan Pe dan akhiran an. di dalam
ajaran agama Hindu, Kata Empu adalah istilah untuk gelar yang diberikan kepada
mereka yang patut dihormati, dimuliakan dan juga orang-orang suci Hindu. Bila
kata empu ini dihubungkan dengan wanita dalam tugasnya maka dapat diartikan
"pengasuh. memang telah menjadi kenyataan di masyarakat bahwa kaum
perempuan mempuntai tugas mengasuh
anak-anaknya, keluarga termasuk suaminya.
2.2. Peran Perempuan Sebagai Seorang
Ibu
Membicarakan mengenai perempuan sebagai sosok Ibu dalam keluarga yang dikaitkan dengan swadharmanya erat hubungannya denga Kula Dharma (dharma yang dianut menurut keluarga), karena perempuan sudah mempunyai swadharma sebagai ibu dari keluarga yang nantinya akan dihadapkan dengan berbagai macam peran. Peran Ibu antara lain :
- Pendamping Suami
- Ibu Rumah Tangga
- Penerus keturunan
- Pembimbing Anak
Peran
Ibu Sebagai Pendamping Suami.
Selesai pelaksanaan upacara perkawinan, si istri telah resmi
berfungsi sebagai Ibu pendamping Suami (suami istri) yang patut sama-sama
dipelihara dan diwujudkan dengan saling cintamencintai, harga menghargai dan
menghormati secara lahir dan bathin.
Dalam kehidupan sebagai suami istri, istri memerlukan
perlindungan dari suaminya dan suaminya memerlukan kasih sayang dari istrinya,
yang dalam pengamalannya, sama-sama berpedoman pada falsafah hidup dalam ajaran
agama Hindu yaitu "Tattwamasi" yang memiliki arti ' saya adalah
engkau atau engkau adalah saya". Orang Jawa Istri adalah
"Garwo" (sigaraning nyowo artinya belahan jiwa atau nyawa). Pustaka suci Manawadharmasastra III.60, 61,
62 dinyatakan:
" Pada Keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya
dan demikian pula sang istri terhadap suaminya maka kebahagian mereka pasti
kekal".
"Karena kalau istri tidak mempuntyai wajah berseri, ia
tidak akan menarik suaminya, tetapi jika sang istri tidak tertarik pada
suaminya, maka tidak akan ada anak yang akan
lahir"
"Jika sang istri selalu berwajah berseri-seri, seluruh
rumah akan kelihatan bercahaya, tetapi jika ia tidak berwajah demikian maka
semuanya akan kelihatan suram"
Lebih
lanjut dijelaskan dalan Nitisastra II.6:
"Burung murai itu dihargai karena nyanyiannya, seorang
perempuan dipandang tinggi derajatnya, jika ia dengan keyakinan yang suci setia
kepada suaminya"
Kesetiaan
kepada suami, akan diamalkan dalam pengabdiannya, melalui perbuatan-perbuatan
dalam hidupnya. kaum Ibu telah menyadari bahwa kalau wanita sekali tercemar
namanya ke dalam perbuatan yang tidak baik, akan cepat sekali menjadi buah
bibir, cemoohan dan ejekan orang atau masyarakat serta sulit akan mengembalikan
citranya untuk disebut susila dan nama keluarga juga menjadi ternoda akibatnya.oleh
karena itu seorang istri harus tetap setia mendampingi suaminya dalam keadaan
apapun.
Ketik seorang perempuan berperan sebagai ibu banyak hal yang
harus diperankan dan dikerjakan diantaranya sebagai berikut :
1. Sebagai
Dharma Samppati mampu mengamalkan ajaran dharma berawal dari keluarganya
berupa sila, nyadnya, tapa, berata dan semadhi.
2. Sebagai
Artha, memiliki kemampuan dalam mneingkatkan kesejahtraan keluarganya
bekerja berdasarkan dharma untuk membantu pendapatan suami.
3. Sebagai
Kama, mampu saling memberi dan menerima kasih sayang, saling cinta
mencintai, saling memberi perhatian dan pengakuan dalam keluarga.
4. Sebagai
Praja, mampu melahirkan dan memelihara keturunan untuk membawa kearah
putra menadi suputra.
Begitu pula ketika seorang perempuan mempersembahkan
hidupnya menjadi istri dari suaminya ia disebut Sadewi dengan perannya
sebagai berikut :
- Sebagai Dewi mampu membersihkan kecemerlangan keluarga dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan kesucian agar menjadi istri ayng mulia.
- Sebagai Sri, mampu memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, dan dapat mengatur perencanaan pengeluaran keluarga sesuai dengan kebutuhan.
- Sebagai Laksmi, selalu memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk, menghormati martabat suami dan melaksanakan berata sebagai istri yang mulia.
Dan ketika dia mendapat kesempatan
sebagai ibu atau istri dari seorang suami atau melahirkan dan memelihara
keturunan ia juga diberikan peran yang utama sebagai Brahmawandini yaitu
seorang perempuan yang mempersembahkan hidupnya dalam ilmu pengetahuan dan
kesucian, pahalanya berimbang dengan perempuan yang dapat melahirkan putra
suputra dimana wanita dihormati disana para dewi-dewi akan merasa senang tetapi
dimana mereka tidak dihormati disana tidak akan ada upacara suci yang berpahala
(Manawadharma sastra, III, 56).
Raja yang selalu mengadakan perjalanan suci akan dipuji dan
dihormati, para pendeta yang melakukan perjalanan suci juga akan dipuji dan
dihormati, yogi yang mengembara juga dihormati. Tetapi jika perempuan
berjalan-jalan sendirian akan menemui kehancuran (Canakya nitisastra, VI,04).
Kedua sloka tesebut menunjukkan betapa penting
kedudukan perempuan sehingga dikatakan sebagai yoni yaitu sebagai simbul
kesuburan dan kearifan disamping sebabai sumber ketenangan dan ketentraman
keluarga.
Ibu Rumah Tangga
Sementara
kehidupan ibu memang peran yang sangat penting dalam rumah tangga. Tugas dan
tanggung jawab seorang ibu sangatkah berat. Sejak ibu hamil, melahirkan,
memelihara dan mendidik putra-putrinya dalam rumah tangga serta merupakan tugas
yang dilakukan oleh ibu. Tentang kewajiban seorang ibu, di dalam Manava Dharmasastra maupun Itihasa
(dalam Ngurah, dkk, 1999:108-109) ditentukan sebagai berikut:
1. Seorang
ibu tidak boleh bertidak sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan suami.
2. Ibu
harus pandai menempatkan diri, mengatur dan memelihara keharmonisan rumah
tangga.
3. Ibu
harus setia kepada suami dan putra-putrinya dengan tetap berpegangan pada
dharma.
4. Seorang
ibu harus selalu mengendalikan pikiran, perkataan, dan tindakannya dengan
selalu mengingat dan memuja Sang Hyang Widhi, merenungkan kebenaran dan
mencintai sepenuh hatinya, ayah dan putra-putrinya. Ibu demikian desebut Patibrata
dan kelak bila meninggal dunia niscaya akan mencapai sorga.
5. Ibu
wajib menegur sang suami bila suaminya melakukan perbuatan yang keliru dan
menjurus kepada kehancuran rumah tangga. Demikian kewajiban seorang ibu yang
sangat mulia yang petut dicintai dan dihormati oleh putra-putrinya.
Dalam rumah tangga ada
tiga (3 ) hal yang harus disyukuri sebagai mana termuat dalam kitab
Canakya Nitisastra VII. 4 sbb :
Santosa trisu kartavyah
Swadare bhojane dhane.
artinya
:
Bersyukurlah
dengan tiga hal yaitu : dengan istri sendiri, makanan yang ada dan rejeki yang
diperoleh.
Manusia
dalam hidup ini selalu mengembangkan keinginannya dan tidak ada manusia yang
tidak punya keinginan. Oleh karena itu nafsu atau keinginan harus
dikendalikan karena kalau tidak, akan dapat menimbulkan bencana.
a) Bersyukur terhadap harta yang diperoleh
sesuai dharma yang akan mampu membangun keluarga bahagia.
b) Bersyukur terhadap makanan yang telah
disiapkan dalam rumah tangga . Makanan yang dimasak dengan tujuan menghidupi
anggota keluarga akan memberikan nilai spiritual yang sangat tinggi
karena sebelum di hidangkan diawali dengan yajna sesa sehingga yang
memakannya akan terlepas dari papa dosa. Sehingga seorang anggota
keluarga pantang untuk menghina masakan yang dihidangkan dalam rumah
tangga . Kalau makanan siap saji yang dibeli di pasar cara masak dan
tujuan membuatnya berbeda dengan masakan dalam rumah tangga karena
tujuannya untuk bisnis.
c) Bersyukur dengan istri sendiri. Rasa syukur
disini jangan membuahkan kepuasan bathin yang akan menghindari terjadinya
perselingkuhan. Karena perselingkuhan merupakan pengkhianatan terhadap
tujuan perkawinan. Istri sering diibaratkan sebagai sungai yang hatinya selalu
berliku-liku perlu mendapatkan perhatian yang khusus bagi seorang suami
sehingga hatinya bisa tetap lurus dengan komitmen yang telah diikrarkan pada
waktu perkawinan.
d) Kedamaian. Unsur kedamaian berarti
tidak adanya perasaan yang mengancam dalam hidupnya. Hidup dijaman kali yuga,
ibarat ikan hidup di air yang keruh dimana pandangan terhalang oleh keruhnya
air. Oleh karena itu banyak yang salah lihat sehingga temannya yang hitam
bisa dilihat kuning sehingga kehidupan temannya yang bopeng bisa dilihat
tampan. Pandangan manusia dihalangi oleh gelapnya adharma yang sangat kuat
pengaruhnya dalam hidup pada jaman kali. Manawa Dharmasastra menyatakan
dharma pada jaman kali hanya berkaki satu sedang adharma berkaki tiga. Kekuatan
adharma itulah yang menjadi penghalang sehingga orang sering keliru
melihat kebenaran. Banyak yang benar dipandang sebagai ketidak benaran ,
demikian juga sebaliknya. Terhalangnya hati nurani menyebabkan munculnya
kekuasaan Panca klesa yaitu : kegelapan, egois, hawa nafsu, kebencian, takut
akan kematian. Akibatnya banyak manusia saling bermusuhan dan
terkadang musuh sering kelihatannya seperti teman.
Dalam
Canakya Nitisastra IV. 10
menyebutkan ada tiga hal yang menyejukkan hati yang menjadi andalan untuk
membangun kedamaian dan kesejukan hati.
Samsara
tapa dagdhanam
Trayo
sisranti hetavah
Apatyah
ca kalatran ca
Satam
sanggatir ewa ca
artinya:
Dalam
menghadapi kedukaan dan panasnya kehidupan duniawi ada tiga hal yang
menyebabkan hati orang menjadi damai yaitu anak, isrti dan pergaulan
dengan orang suci.
Penerus keturunan
Telah
menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap laki-laki dan perempuan
mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala
bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses
perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu
karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96
sebagai berikut:
“Prnja
nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah
crutam patnya sahaditah”
“Untuk
menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan
oleh suami dengan istrinya.
Untuk
memperoleh anak atau keturunan yang suputra seorang perempuan dan laki-laki
harus melakukan pernikahan yang sah menurut agama dan dilaksanakan sesuai
dengan ajaran veda. Sehingga kelak keturunannya itu bisa menghantarkan orang
tuanya menuju surge.
Pembimbing Anak
Ibu bertugas dan bertanggung jawab
mengasuh anak-anaknya. Ibu dengan kasih sayang dan keteladanannya dan Bapak
dengan kepemimpinannya berpacu tiada kenal lelah membimbing dan mendidik
anak-anaknya demi masa depan sehingga dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
prilaku dan kepribadian anak menuju kedewasaan dapat dicapai secara optimal.
Hal ini tercantung juga dalam kitab Rg Veda I.160 sa vihnih putrah
pitrohpavitravan punati dhiro bhuvanani mayaya yang berarti bahwa purta
atau anak yang baik lahir dari hasil didikan orang tua yang baik. Keluarga
sebagai agen dan merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama, mempunyai
peranan penting dalam pembentukan sikap, perilaku, nilai-nilai kebajukan melalui
sosialisasi antar individu dengan keluarganya dan perkembangan kepribadian anak
dapat dibentuk dan berkembang melalui proses belajar, proses internalisasi, dan
proses sosialisasi dalam semua lingkungan pendidikan. Dalam kaitan ini, proses
belajar itu dapt berlangsung di dalam keluarga, di sekolah, dan di masyarakat
melalui pendidikan non formal. Pengaruh pendidikan dalam keluarga terhadap anak
cukup dominan, sebab keluarga adalah institusi pertama dan utama yang dikenal
oleh anak sejak lahir. Waktu yang terpenting bagi anak adalah dalam keluarga.
Dalam mengasuh anak-anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di
lingkungan, selain itu juga diwarnai dengan sikap tertentu dalam memelihara,
membimbing, dan mengasuh anak-anaknya.
Dalam
konsep ajaran Hindu dijelaskan Untuk mendapatkan anak yang suputra, orang tua
hendaknya melakukan lima hal yang disebut Panca Wida dalam kekawin Niti Sastra VIII.3.yang dikutip oleh Wiana
(2011:101-103), diuraikan bahwa Panca Wida itu adalah lima kewajiban orng tua
pada anaknya, yakni:
1) sang
ametaken artinya
orang yang melahirkan anak;
2) sang
maweh bhinojana, artinya yang memberi makan;
3) sang
mangupadhyaya, yaitu
memberikan pendidikan keterampikan sesuai dengan sifat, bakat dan perbuatan ( guna
dan karma) si anak;
4) sang
anyangoskara, artinya
orang tua memberikan pendidikan kerohanian pada anak;
5) sang
matulung urip rikalaning bhaya, artinya orang tua itu adalah orang yang selalu menjaga
kenyamanan dan keamanan perasaan dan jiwa putranya.
Setiap orang menyayangi anak-anaknya, namun manifestasi dari
rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya dan hal itu tampak pada pola
asuhnya. Secara umum, ada tiga macam pola asuh yaitu:
1) pola
asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah cara
pengasuhan orang tua melakukan control yang ketat terhadap anak, banyak member
perintah , anak tidak boleh berpendapat dan member kritik serta harus mengikuti
pendapat dan keinginan oaring tua. Dengan demikian kekuasaan mengatur perilaku
anak sepenuhnya terletak pada orang tua.
Menurut
Stewart dan Koch (1999) orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada
kasuih sayang dan simpatik, memaksa anak untuk patuh, cendrung mengekang
keinginan anak, tidak mendorong dan member kesempatan anak untuk mandiri,
jarang member pujian, membatasi anak tapi menuntut tanggung jawab seperti orang
dewasa.
2) pola
asuh permitif
pola asuh permisif adalah pola asuh
dimana tidak ada control dari orang tua terhadap perilaku anak sehingga anak
memiliki kebebasan yang longgar dalam memiliki dan menjalankan aktivitasnya.Menurut Stewart & Koch (1999)
mengemukakan pola asuh rang tua permisif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
memberi kebebasan anak tanpa control, sedikit sekali menuntut tanggung jawab,
member kebebasan anak mengatur diri sendiri. Pola asuh orang tua yang permisif
memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam
melaksanakan disiplin anak.
3) Pola
asuh Demokratis
pola asuh demokratis adalah pola
asuh dimana orang tua melibatkan anak dan anggota keluarga dalam pengambilan
keputusan tentang aktivitas yang akan dilakukan anak, memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada anak untuk mencapai tujuan. Anak dapat mengemukakan pendapat
dan berdiskusi dengan orang tua menentukan mengambil keputusan bagi
aktivitasnya akan tetapi orang tua tetap mengontrol perilaku anak dan anak
perlu mendapat persetujuan orang tua.
Menurut Stewart & Koch (1999) pola asuh orang tua demokratis
mempunyai cirri-ciri: memandang sama hak dan kewajiban antara anak dan orang
tua, secara bertahap memberikan tanggung jawab kepada anak terhadap segala
sesuatu yang diperbuat, selalu berdialog dengan anak-anak, saling memberi dan
menerima, selalu mendengar keluhan dan pendapat anak-anak, dalam bertindak
selalu memberi alas an kepada anak, mendorong anak saling membantu dan
bertindak secara objektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.
Ketiga
pola asuh orang tua tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian anak
baik secara emosional maupun spiritual.
2.3. Istilah perempuan
secara Jawa, perempuan
atau wanita berarti wanita ditata (tata-titi, tatas-titis, tatag-tutug)
dan wani tapa (tapa-, tapak-, telapak). Sesungguhnya di bawah telapak
kaki wanita itu merupakan eksistensi sesensi surga. Konvergensi antara tata-tapa,
dzikir, imanen transender dan aksi kontemlasi itulah, maka predikat kesurgaan
sangat lekat dengan wanita. Bagi orang Jawa, wanita digambarkan sebagai orang
yang harus dihormati oleh anaknya karena surga terletak di bawah kaki ibu
(Purwadi, 2005 : 560).Istilah perempuan dalam susastra jawa ada empat antara lain:
1. Wadon
Berasal dari
bahasa Kawi, “Wadu” yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah
bisa diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki.
2. Wanita
Kata “wanita” tebentuk
dari dua kata dalam bahasa Jawa (kerata basa), yakni Wani yang
berarti berani dan Tata yang berarti teratur. Kerata basa ini
mengandung dua pengertian yang berbeda. Pertama, Wani ditata yang
berarti berani (mau) diatur dan yang. Kedua, Wani nata yang artinya
berani mengatur. Kedua pengertian ini mengindikasikan bahwa perempuan juga
perlu pendidikan yang tinggi agar bisa memerankan dengan baik peran-peran ini.
3. Estri
Berasal dari
bahasa Kawi, “Estren” yang berarti panjurung (pendorong). Seperti
pepatah yang terkenal, “Selalu ada wanita yang hebat di belakang laki-laki yang
hebat.”
4. Putri
Dalam peradaban
tradisional Jawa, kata ini sering dijelaskan sebagai akronim dari kata-kata Putus
tri perkawis, yang mengarah kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya
sebagai putri. Perempuan dituntut untuk selalu merealisasikan tiga kewajiban
perempuan (tri perkawis). Dan yang dimaksud dengan tiga kewajiban itu
adalah kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri.
Dalam kehidupan
perempuan Jawa juga sering kita dengar istilah masak, macak, manakyang
artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi
keturunan. Meski terlihat sederhana istilah tersebut, tapi sebenarnya ketiga
kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam.
1. Masak
Wanita atau
perempuan Jawa tidak sekadar bisa membuat/ mengolah makanan, melainkan juga
memberi nutrisi dalam rumah tangga sehingga akan tercipta keluarga yang sehat.
Dalam memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan,
dan mengkombinasikan berbagai macam bahan makan menjadi satu sehingga menjadi
sebuah makanan. Ini adalah wujud kasih sayang istri kepada seluruh anggota
keluarga.
2. Macak
Macak adalah
berdandan, bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas
mempercantik diri, sebab di dalamnya juga terkandung makna menghias atau
memperindah bangunan rumah tangga. Selain mempercantik fisik, perempuan juga
dituntut sanggup mempercantik batinnya agar memiliki sifat yang lemah lembut,
ikhlas, penyayang, sabar dan mau bekerja keras.
3. Manak
Manak artinya
melahirkan anak atau memberikan keturunan. Tidak hanya sekedar proses bekerja
sama dengan suami dalam membuat anak, mengandung dan melahirkan seorang buah
hati sebagai keturunan. Akan tetapi juga termasuk mengurus, mendidik, dan
membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu juga ada konsep
perempuan Jawa yang tertuang dalam Serat
Candrarini (Budi Santoso, 1992 : 24) yang diringkas ke dalam sembilan
butir, yaitu :
1)
setia
kepada lelaki,
2)
rela dimadu,
3)
mencintai suami,
4)
terampil
dalam pekerjaan wanita,
5)
pandai
berdandan dan merawat diri,
6)
sederhana,
7)
pandai
melayani kehendak lelaki,
8)
menaruh perhatian
kepada mertua, dan
9)
gemar
membaca buku-buku yang berisi nasehat.
BAB III
PENUTUP
3.1.kesimpulan
1) kata
" Perempuan" yang berasal dari kata " Empu", mendapatkan
awalan Pe dan akhiran an. di dalam ajaran agama Hindu, Kata Empu adalah istilah
untuk gelar yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati, dimuliakan dan
juga orang-orang suci Hindu. Bila kata empu ini dihubungkan dengan wanita dalam
tugasnya maka dapat diartikan "pengasuh. memang telah menjadi kenyataan di
masyarakat bahwa kaum wanita mempuntai tugas mengasuh anak-anaknya, keluarga
termasuk suaminya.
2) Peran
perempuan sebagai Ibu antara lain :Pendamping Suami, Ibu Rumah Tangga, Penerus
keturunan, Pembimbing Anak.
3)
Socyanti jamayo yatra,
vinasyatyacu tatkulam,
na socanti tu yatraita, wardhate taddhi sarvada
(Manawa Dharmasastra III.5)
Artinya :
Dimana wanita hidup dalam kesedihan, maka keluarga itu cepat
akan hancur berantakan,
tetapi dimana wanita itu tidak menderita, maka keluarga itu akan
selalu bahagia).
DAFTAR PUSTAKA
http://artakertawijaya.wordprss.com/2013/09/16/pendidikan-keluarga-menurut-hindu.html
http://
ferrycute87.blogspot.com/2012/10/gender-dalam-perspektif-agama-hindu.html
http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/150/
http://trimurcahyo21.wordpress.com/2013/01/22/perempuan-jawa.html